Sebaris kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi seorang istri yang
ingin menjadi perhiasan terindah dunia dan bidadarinya akhirat yaitu
wanita shalihah. Semoga melalui kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi
seseorang yang mendambakan keluarga sakinah mawadah wa rahmah yang
diridhai oleh Allah ‘Azza wa jalla
Ia menceritakan pengalamannya:
“Ketika aku menikahi Zainab binti Hudair aku berkata dalam hati: Aku
telah menikah dengan seorang wanita Arab yang paling keras dan paling
kaku tabiatnya. Aku teringat tabiat wanita-wanita bani Tamim dan
kerasnya hati mereka. Aku berkeinginan untuk menceraikannya. Kemudian
aku berkata (dalam hati): “Aku pergauli dulu (yaitu menikah dan
berhubungan dengannya), jika aku dapati apa yang aku suka, aku tahan ia.
Dan jika tidak, aku ceraikan ia.”
Kemudian datanglah wanita-wanita bani Tamim mengantarkannya. Dan
setelah ditempatkan dalam rumah, aku berkata, “Wahai fulanah,
sesungguhnya menurut sunnah apabila seorang wanita masuk menemui
suaminya hendaklah si suami shalat dua rakaat dan si istri juga shalat
dua rakaat.”
Akupun bangkit mengerjakan shalat kemudian aku menoleh ke belakang
ternyata ia ikut shalat di belakangku. Seusai shalat para budak-budak
wanita pengiringnya datang dan mengambil pakaianku dan memakaikan padaku
pakaian tidur yang telah dicelup dengan za’faran.
Dan tatkala rumah sudah kosong, aku mendekatinya dan aku ulurkan tanganku kepadanya. Ia berkata, “Tahan dulu (sabar dulu).”
Aku berkata dalam hati, “Satu malapetaka telah menimpa diriku.” (yakni musibah telah menimpa dirinya)
Aku berkata dalam hati, “Satu malapetaka telah menimpa diriku.” (yakni musibah telah menimpa dirinya)
Lalu ia memuji Allah kemudian memanjatkan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu berkata, “Aku adalah seorang wanita Arab. Demi Allah, aku tidak
pernah melangkah kecuali kepada perkara yang diridhai Allah. Dan engkau
adalah lelaki asing, aku tidak mengenali perilakumu (yakni aku belum
mengenal tabiatmu).
Beritahulah kepadaku apa saja yang engkau suka hingga aku akan melakukannya dan apa saja yang engkau benci hingga aku bisa menghindarinya.”
Beritahulah kepadaku apa saja yang engkau suka hingga aku akan melakukannya dan apa saja yang engkau benci hingga aku bisa menghindarinya.”
Aku berkata kepadanya, “Aku suka begini dan begini (Syuraih
menyebutkan satu persatu perkataan, perbuatan, makanan dan segala
sesuatu yang disukainya) dan aku benci begini dan begini (Syuraih
menyebutkan semua perkara yang ia benci).”
Ia berkata lagi, “Beritahukan kepadaku siapa saja anggota keluargaku yang engkau suka bila ia mengunjungimu?”
Aku (Syuraih) berkata, “Aku adalah seorang qadhi, aku tidak suka mereka (anggota keluargamu) membuatku bosan.”
Aku (Syuraih) berkata, “Aku adalah seorang qadhi, aku tidak suka mereka (anggota keluargamu) membuatku bosan.”
Maka akupun melewati malam yang paling indah, dan aku tidur tiga malam bersamanya. Kemudian aku keluar menuju majelis qadha’, dan aku tidak melewati satu hari melainkan hari itu lebih baik daripada hari sebelumnya.
Tibalah waktu kunjungan mertua.
Yaitu genap satu tahun (setelah berumah tangga).
Aku masuk ke dalam rumahku. Aku dapati seorang wanita tua sedang menyuruh dan melarang.
Aku bertanya, “Hai Zainab, siapakah wanita ini?”
Istriku menjawab, “Ia adalah ibuku.”
“Marhaban”, sahutku.
Ia (ibu mertua) berkata, “Bagaimana keadaanmu hai Abu Umayyah?”
“Alhamdulillah baik-baik saja”, jawabku.
“Bagaimana keadaan istrimu?” Tanyanya.
Aku menjawab, “Istri yang paling baik dan teman yang paling cocok. Ia mendidik dengan baik dan membimbing adab dengan baik pula.”
Yaitu genap satu tahun (setelah berumah tangga).
Aku masuk ke dalam rumahku. Aku dapati seorang wanita tua sedang menyuruh dan melarang.
Aku bertanya, “Hai Zainab, siapakah wanita ini?”
Istriku menjawab, “Ia adalah ibuku.”
“Marhaban”, sahutku.
Ia (ibu mertua) berkata, “Bagaimana keadaanmu hai Abu Umayyah?”
“Alhamdulillah baik-baik saja”, jawabku.
“Bagaimana keadaan istrimu?” Tanyanya.
Aku menjawab, “Istri yang paling baik dan teman yang paling cocok. Ia mendidik dengan baik dan membimbing adab dengan baik pula.”
Ia berkata, “Sesungguhnya seorang wanita tidak akan terlihat dalam
kondisi yang paling buruk tabiatnya kecuali pada dua keadaan: Apabila
sudah punya kedudukan di sisi suaminya dan apabila telah melahirkan
anak. Apabila engkau melihat sesuatu yang tak mengenakkan padanya pukul
saja. Karena, tidaklah kaum lelaki memperoleh sesuatu yang lebih buruk
dalam rumahnya selain wanita warhaa’ (yaitu wanita yang tidak punya kepandaian dalam melakukan tugasnya).
Syuraih berkata, “Ibu mertuaku datang setiap tahun sekali kemudian ia
pergi sesudah bertanya kepadaku tentang apa yang engkau sukai dari
kunjungan keluarga istrimu ke rumahmu?” Aku menjawab pertanyaannya,
“Sekehendak mereka!” Yaitu sesuka mereka saja.
Aku hidup bersamanya selama dua puluh tahun, aku tidak pernah sekalipun mencelanya dan aku tidak pernah marah terhadapnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih